DARI BAKAUHUNI
sebuah selat
menjadi botol-botol kenangan
dan lutut-lutut lelah
yang menumpang kapal megah
menjadi luapan soda
di botol kenanganku yang pecah
dari bakauhuni
laut menghitung kenangannya sendiri
sementara aku mengayuh masa lalu
dengan kecerdasan yang buntu
bukankah di darat pun diusik mimpi
sebuah rumah atau warisan tanah
atau ibu yang rindu menantu
atau asap-asap cemburu
bisakah diangkut perahu
dari botol-botol kenanganku
dari bakauhuni
aku menjengkali hati
sampai merak
sampai laut menolak ombak
sampai berbotol-botol kenanganku
menjadi anggur yang terus kuteguk
sampai mabuk dalam jutaan kata
yang jatuh dan kujatuhkan
pada botol-botol sunyi
yang bangun dan kubangunkan
pada botol-botol puisi
2003
PUISI-PUISI BARU
di antara musik-musik risauku
telah disisipkan zikir-zikir asing
yang meloncat ke masa depan
sekaligus merindukan pemakaman
selalu saja terdengar batuk ayahku
menggerayangi puisi-puisi baru
dan selalu aku memendam doa
dalam sehimpun diam yang tajam
seperti kesederhanaan yang kupilih
kembali kuhalau salam mikail
ke kampung halamanku yang cacat
masih juga sumpah-sumpahku
mengerangkengi kata-kata yang lelah
dan seperti kegelisahan yang lemah
akar-akar pikiranku memuai
membelit sajak-sajakku yang lunglai
tetapi di pangkal tidurku
harus kususun mimpi-mimpi
yang paling mengesankan
sekaligus paling mencekam
bukankah suatu saat akan tergilir
ribuan doa yang setiap malam kuukir
bukankah suatu saat akan menerkam
ribuan puisi yang setiap malam kugandakan
2003
SAJAK KEPULANGAN
pohon-pohon palma
tiang-tiang listrik yang menyala
ruas-ruas jalan raya yang murka
menjadi doa-doa yang kucerap
dengan kepala yang berat
demikian rindu mencapai kota
setelah tahun-tahun sulit
memindahkan wajah ibuku
ke kanvas basah yang dicelupkan
dan diwarnai warna kulitku
tetapi selalu harus ada yang dibunuh
sekolah rendah ayahku
sawah warisan kakek buyutku
tanah sempit pekuburan keluargaku
selalu meneteskan darah abu-abu
sampai aku memutar arah
setelah lelancip jam menikam langkah
selain maskumambang yang kutembang
bermungkin-mungkin aku terus berenang
menyebrang tangis mensorga remang
kini aku harus berburu
di tanah kuburan ari-ariku
di tapak payah 10 tahun sakit-gembiraku
demikian sulit melelang kota
yang terus membelukar di kepala
2003
TAHUN KELAHIRAN
Tahun kelahiran pun menjadi daun-daun
pisang yang merimbuni kebun keluargaku.
Dan musim biru mengasuh serdadu,
melampaui kecerdasan ibu-bapakku.
Lalu tiap kepala membentuk wajah serupa
dalam bait-bait sajak dukun beranak.
Pada pelepah usiaku yang mengusung
purnama di titik terlambat arah jarum jam,
tahun kelahiranku memahat gadis pada rumah,
ketika nada-nada minor siulan bapakku,
menghentikan biji-bijian mencinta tanah,
dan birahi yang dikucilkan musim basah.
Kini, Segala yang merambat membagi
jarak pada peta jiwaku yang berwarna. Tak ada
musim panen yang melahirkan tahun bisu,
selain ibuku, menunggu menantu di jalan buntu.
Selain aku, menanam tahun dalam puisi, tumbuh
menjadi anak-anak yang kulahirkan sendiri.
2003.
MANUSKRIP MASA LALU
Pada pori-pori ibuku, aku menyusu keringat
bersama rasa cinta yang mengkilap. Ke timur
arah kembara, telah kumuntahkan jarum jam
yang mendarah dan mendaging dalam ruhku.
Bukankah tak pernah tidur segala rasa sakit,
ketika rumah mesti dibangun puluhan tahun,
ketika jelaga mesti dihisap sebelum cahaya
bulan siap menginap.
Menuju fatamorgana, pada hari raya yang
mencerna duka cita. Aku menggoyang lonceng
dan memastikan kegembiraan telah bertengger
di ujung tanduk. Tapi bukankah ibu harus
memasak masa lalu, untuk disuguhkan pada
anak-anaknya dan ayahku yang menggadai
lapar pada tahun-tahun yang menggelegar.
Bersama nyanyian adikku yang menghibur
boneka kayu, aku mengira segala yang
sederhana, yang telah kuteguk dengan
terpaksa, harus kumuntahkan perlahan-lahan.
Tapi bukankah segala yang bersinar, menerangi
kesempurnaan. Sempurna memiliki hidup
yang bermakna bersama cacat beraneka rupa.
2003.
MASKUMAMBANG
Ribuan tahun sebelum Yesus, pada masa
dingin yang lama. Aku telah disiapkan menjadi
pengganti Adam untuk merindukan bau perempuan.
Sebau lumut yang menyulut bayang-bayang kabut
pada sajak-sajak yang menjemput. Sebau rumput
yang mengitari jeritan liar pada mantra garis tangan.
Di tanah lembab, bersama punggung binatang
yang memuai ke hutan-hutan. Ribuan tahun
setelah Nuh menurunkan berpasang-pasang
mahluk di pulau-pulau surut. Aku rupanya
telah disiapkan untuk berlayar bersama seratus
perahu yang dibangun di hutan-hutan.
Tapi lenguh kampung halaman mengirim kelambu
pada sajakku, ribuan hari setelah kakek buyutku
berpoligami. Bisakah mengucurkan kantuk, ketika
di jalan buntu tersusun serdadu. Bisakah bersembunyi,
ketika mimpi terus menari, menyihirku menjadi siput
yang berkarat di pohon-pohon yang terpahit .
2003.
KUPIKUL TAHUN-TAHUN UNIK
Kupikul tahun-tahun unik melewati sungai
merah yang membujur ke selatan menuskrip
kehidupanku. Puisi-puisi mengepulkan
amarah, melewati wajah teduh, melewati
daun bergetah, melewatiku besama peluru
yang menunggu di dini hari yang perih,
menunggu mulut senjata yang berpeluh.
Menulis lagi. Kata-kata jadi perahu yang
digerakkan kematian. Tinta menjelma ombak,
memuntahkan gairah pada sajak-sajak mentah.
Kupikul terus sampai ke batang telinga, menyisiri
bulu-bulu singa betina, bulir-bulir padi kering,
penganan cinta yang menyuguhkan diri sendiri.
Kupikul sampai ke langit-langit risauku,
sampai ke mulut-mulut masa lalu.
Lalu peluit kereta mengundang orang-orang
segera berperang. Aku bersenyawa dengan
angka sambil terus memikul dengan gembira.
Kepala-kepala suku, cahaya-cahaya lampu,
rumah-rumah beratap keriput, menyandera
makna-makna. Aku terus memikul, melewati
penyakit bumi, melewati karma yang ngeri,
mencapai mantra-mantra dengan sembilu
yang mengerat ribuan kembara.
2003.
KUIN CINTA
-buat gadis berkerudung yang terkurung
dalam kaca spion sebuah angkutan umum
Ijinkan kubakar dupa di hatimu. Sebab
doa-doa tak pernah cukup membuatmu
berpaling muka padaku. Ijinkan kukuliti
segala yang menatapmu. Sebab kutahu
tak ada yang lebih jingga dari matamu.
Di setiap dinding kapal karam, ijinkan
aku membungkam cemburu. Bersama
anak-anak telanjang yang menghamili
sungai-sungai perawan, ijinkan aku
menelan auramu yang paling tajam.
Biji kacang mana lagi yang berkecambah
dalam darahku, ketika kau akan memilih
memandangku dengan sangat hati-hati.
Maka ijinkan aku mengucurkan puisi ke
sungai yang bermuara di lesung pipimu.
Jika arang cintaku mengabu di lipatan
kerudungmu, ijinkan aku menyetubuhi
setiap helai rambutmu. Jika tidak, akan
kupastikan anak-anak yang kaulahirkan
kelak, menyerupai setiap sajak-sajakku.
2003.
MEMASUKI PETI MATI
Mimpi tentang datangnya sebuah kekasih,
mengembangbiakkan puluhan keris yang tumbuh
di taman-taman buku. Bagaimana harus kubusurkan
hati, ketika puisi tertancap di pohon-pohon lapuk.
0Bagaimana tak mengunyah bara, ketika musim paceklik
di ladang kata-kata, memercikkan api ke garis usiaku
yang melambat.
Aku memahami pekabungan sebagai ibu tiri dari
risau-risau yang memukau. Mengapa harus menjelagakan
asap-asap perih yang mengitari hari-hari kasat mataku.
Ketika ibuku terus menembang, tajam mendesak ke
sajak-sajak, ke rasa cemburu, ke rasa cemburu yang lantak,
ke masa depan yang memihak, ke anak-anak bulan,
anak-anak sunyi yang kusembunyikan di antara suap
dan kunyah zikir-zikir semediku.
Bersama kitab-kitab sastra yang membajak kematian,
aku mengairmatakan rayuan-rayuan. Ramalan bayi sinis
yang kelak merayap di punggungku, darah yang menyingkap
mitos rumit dari angka 13 selasa pahing kelahiranku,
tenung asmara, jimat-jimat dan mantra-mantra, melulu
menganaksungaikan kepenyairanku, melulu meninju
kepuasan dari sakitnya sumpah-sumpahku.
2003.
MIJIL
Ke sawah-sawah kehidupan, kupadikan
kembara-kembara yang menyumbat arah
dosa-dosaku. Kubajak masa lalu, sajak-sajak
yang berurutan di rambut ayahku, hari-hari
manis yang dimatangkan rasa sakit, kubajak
dan kunasikan doa-doa, sebelum bubur
disajikan untuk sakit-sakit yang terberat.
Melalui payah-payahku, kukendalikan
bendungan yang dibanjiri airmata ibuku.
Kusekat ratusan warna, pada peta yang
menyesatkan cuaca, kukemaraukan masa
depan yang menjejali kepala, setiap jumat,
setiap aura-aura menempati kitab keramat.
Lalu aku merimbun selaik daun, memilah
cahaya yang mencongkel risau ke barisan
paling depan. Kuangkakan harapan-harapan
kering, ketika kata menyusun ambigu yang
menggunung, ketika peta sawahku mengusir
burung-burung. Dan kusungaikan haru-biru,
meluapkan peluh-peluh ragu, menandingi
biji-biji usia yang terus berkecambah bersama
siasat-siasat mentah.
2003.
HARI-HARI MENGELAMBU
menjaring tebaran padi yang berkabung di hatiku.
Raung ambulan, dering telpon dan sumpah palsu
menginjak urat kemiskinanku. Di setiap jejak langkah,
kukristalkan angan-angan yang membedah sajak-sajak
asing dan memuntahkan bunga-bunga kering.
Menjembatani wajah murung yang menggunung,
Aku menikai jam dan memburu detik-detik paling
mencemaskan. Kilau kunang-kunang, bias lensa minus,
desah berat masa depan yang membius, melintang, dan
mengepalai risau-risauku. Memantrakan igauan-igauan,
mencapai lengkingan rasa sakit yang mengesankan.
Mengeranjangi senyum-senyumku yang tergadai. Dan
seperti sepertiga kesempurnaan yang menyempit, aku
menolak kedatangan ribuan doa yang dihembuskan,
menahan jengukan tajam harapan ambigu yang
disengketakan, meyakini keberuntungan sebagai
selasar hari-hariku yang mengelambu, dan meragukan
cacat semediku, memenuhkan mimpi yang diburu,
di usia paling mencekam dan harubiru.
2003.
MEMASUKI PIPA BESI
memasuki pipa besi
bersama arus yang tak kukenali
aku menyembul ke langit
menjadi rahasia
dan lututku menegang
punggungku melayang-layang
sementara ujung lidahku
mendulang emas di bumi
mencari tulang-tulang sulaiman
yang disembunyikan kecemasan
memasuki pipa besi
bercampur keluh yang mematri
aku berkarat
dengan risau yang menyengat
usiaku mendongkel peta
sementara keringat ayahku
menjadi percikan api
dan tubuhku menjadi kayu
di gundukan risau-risau
yang menghitam
memasuki pipa besi
bersama tahun-tahun nyeri
aku berbagi kepala
dengan sajak yang menyala
sementara ibuku menari
kebun-kebun mendaun
membunga lebam
membuah di titik merah
titik hatiku yang berloncatan
2003
BANGKU-BANGKU KAYU
-buat M. Chodi
dan bangku-bangku kayu
malu-malu melewati usiaku
mengapa berlari ke putaran waktu
ketika tahun-tahun dihuni cemburu
dan hutan-hutan suci
berkali-kali menyebrang sunyi
mengapa menghendaki mati
ketika detik-detik diputar mimpi
dan orang-orang jepara
pura-pura menepuk dada
mengapa memilih sebuah nama
ketika peluh berubah warna
dan kawan-kawanku
sama-sama memecah ambigu
mengapa harus meng-arang kayu
ketika sajak-sajak mengirim abu
2003
TANAH KELAHIRAN
memecahkan kendi kata
di patahan masa muda
di gulungan tahun bisu
di mulut pun tertebar kelu
di setiap alun kegembiraanku
sementara pulang ke rumah
ditangkal ribuan gelisah
ditulisi jam-jam tabu
di mana semestinya bercumbu
di mana semestinya mencemburu
menderu tahun-tahun pelik
di atap pekik dan tingkap bisik
di pori-pori yang membiak
di sini maut-maut retak
di gugusan sajak-sajak
sementara kampungku mengerut
dipunggungi tenung kabut
di mana seharusnya membaca
di mana semestinya mengira-ngira
di sana-sini ditumbuhi mantra
2003.
KEMBALI KE KAMPUNG HALAMAN
kembali ke kampung halaman
menanam airmata sepanjang jalan
akhirnya datang juga musim hujan
akhirnya memucuk setiap harapan
kembali ke kampung halaman
menawarkan berita ke jantung jaman
sedang anak panah menembus masa
sedang hatiku mengalirkan darah cinta
kembali ke kampung halaman
memaksakan menggusur jamban
tempat meminum kegembiraan
tempat mencuci ulang sedu sedan
kembali ke kampung halaman
bersama lenggang sisa menuliskan keinginan
mengapa di kepala ibu-bapaku tumbuh uban
mengapa sajak-sajakku ditumbuhi dedaunan
2003.
RONGGENG GUNUNG
o pemilik raut kabut
o tubuh bernafas maut
o jiwa bergulung sabut
mari menenung kalut
bersama nyanyian kemat
bersama tarian keramat
o lelaki bersayap api
mari bernyanyi
diiringi gending buhun
di malam seribu pantun
o kaki-kaki telanjang
mari menari
berlenggak menisik bunyi
berlenggok mengenal bumi
o mata batin yang miskin
mari melewati para kahin
menyusur suluk gunung
menebak gerak ronggeng
o tenaga-tenaga janji
o serat-serat relung hari
o mantra-mantra urat nadi
mari membaca sunyi
bersama sesaji hati
bersama puisi
2003
BERSAMA TENGKORAK *)
besama tengkorak
aku meminjam kuburan
untuk dipajang
di selasar hatiku yang kusam
begitu juga huruf-huruf
terus menyusup
melewati keringat yang panas
menjelma batu nisan
pada puisi-puisi yang kutelan
bersama tengkorak
aku mengafani keluargaku
dengan lembar-lembar sajak
mengapa harus tercipta masa lalu
ketika waktu menjadi satu-satunya
yang mesti kusetubuhi
mengapa harus tercipta masa depan
ketika bayi-bayi jam
mesti kukandung sendiri
dan melahirkan ribuan puisi
bersama tengkorak
aku mempetimatikan kata-kata
sedang hari-hari mengirim selimut
ke khusuk semediku yang keriput
dan di ubun-ubunku
telah tumbuh ratusan belati
sementara aku menenung sperma
mencipta mantra
yang menghantui sorga-sorga
2003
*) judul drama karya Rachman Sabur
SAMPAI DI TUNJUNGAN
sampai di tunjungan
hatiku telah dipenuhi hari-hari
yang disusutkan asin garam
di sini segala yang memendar
dan segala yang tergelar
menjelma kabar
di sepanjang kota yang lelah
hatiku dipenuhi bubuk mesiu
yang dihembuskan rambu jalan
aku memburu bising
yang melenting ke kulit kepala
orang-orang yang beruban
sebelum waktunya
di trotoar di mana perempuan
dan lelaki dengan nafas kuda
memilihku sebagai arca
aku melistrik dan memercik
sambil menyeru lampu-lampu
untuk bersinar tanpa cemburu
tapi di sini tak ada yang tahu
bahwa segalanya abu-abu
dari kerumitan plaza yang menggoda
surabaya tetap saja sebagian umurku
berapa yang mesti disiasati
ketika riuh lebih berarti dari sunyi
berapa yang harus dirampas
ketika dusta lebih bermakna dari cemas
2003
MENJADI PENYAIR
Demi pasir, batu dan air susu ibu yang membentuk
beton bagi mercusuar jiwaku. Aku bertolak dari selasar
usia, dari kampung para penyamun bagi orang-orang
yang bernyali lempung. Selesai mengasuh bakau yang
menahan sebuah pelayaran yang membingungkan.
Demi gelas bening, airmata tawar dan senyum
hambar yang mereguk malam untuk meminjam cahaya,
melulu aku menjadi fatamorgana, melulu warna-warna
pucat yang dipantulkan ke tenggara arah perjalanan
yang sia-sia.
Demi siput dan segala yang melata. Aku berlari
tak henti-henti. Memberi jarak pada akar-akar rambut
yang mandul. Ke kebun-kebun tahun yang ditumbuhi
pohon-pohon kebahagiaan. Aku terus berlari,
mengunjungi rumah-rumah semut, mencari senyum
yang memaniskan jendela kayu, palang-palang pintu,
dan semua kunci yang gembira di setiap stasiun
dan dermaga.
Demi musim dan cuaca yang tak bersahabat.
Aku melawan diri sendiri dengan bom waktu
yang kuaktifkankan di jiwaku empat tahun lalu.
Pages
Label:
sajak
Diposting oleh
Ridwan juliansyah
Senin, 05 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Subscription
Search this blog
Popular Posts
-
Hilangnya Parabu Siliwangi beserta kerajaanya sampai saat ini masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sehingga banyak beredar cerita-c...
-
Seperti di ketahui, antara Malang-Surabaya ada dua kelompok suporter (Aremania & Bonek) yang sangat eksis dan terkenal. Dan dari kedua k...
-
”Ternyata harganya tiga ratus tujuh puluh lima ribu, Pak,” kata Sum kepada lakinya, Uncok. ”Barang apa yang kau bicarakan itu, kok mahal a...
-
Bekerja atau belajar bersama adalah suatu proses kelompok yang disokong oleh anggota-anggota kelompok , di mana ada ketergantungan satu deng...
-
Seperti diketahui, Pajajaran merupakan kerajaan hindu terbesar di Jawa Barat. Tidak begitu jelas siapa pendiri dan kapan berdirinya. Namun l...
-
dari kiri: Jerinx, Eka Rock, Bobby Kool dari kiri: Jerinx, Bobby Kool, Eka Rock Superman Is Dead (disingkat SID) adalah sebuah grup mus...
-
Beberapa bentuk pendidikan jarak jauh antara lain adalah: * Program pendidikan mandiri * Program tatap muka yang diadakan di bebe...
-
engacu pada definisi sehat yang dirumuskan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UU No. 23 tahun 1992, ada empat aspek sehat, yaitu fisik, me...
-
Untuk mewujudkan Negara yang lebih baik melalui kepemilikan generasi terbaik, kesehatan masyarakat perlu menjadi prioritas. Dengan mengapl...
Labels
- cerpen (2)
- kesehatan (34)
- music (4)
- pendidikan (23)
- sajak (3)
Blog Archive
-
▼
2012
(77)
-
▼
Maret
(16)
- Apa Itu Superman Is Dead?
- GURU DAN FILSAFAT PENDIDIKAN
- Fenomena Guru Dalam Mengejar Teknologi
- Lima Kelemahan Guru Dalam Mengajar
- Pendidikan Bermutu di tengah Pentas Budaya Instan
- Menggugah Perspektif Masyarakat Terhadap Paradigma...
- SISTEM KOMUNIKASI PERENCANAAN PENDIDIKAN
- STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (SNP)
- EVALUASI PROSES PEMBELAJARAN
- BERBAGAI JENIS MEDIA PEMBELAJARAN
- UJUNG TOMBAK PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN
- UJI KOMPETENSI AWAL PRASERTIFIKASI GURU
- Manajemen Berbasis Sekolah
- SaJaK-SaJaK SuNdA LEMAH CAI KURING Lemah cai kur...
- DARI BAKAUHUNI sebuah selat menjadi botol-bo...
- TUKEURAN IEU SAJAK Tukeuran ieu sajak Ku salamba...
-
▼
Maret
(16)
Labels
- cerpen (2)
- kesehatan (34)
- music (4)
- pendidikan (23)
- sajak (3)
Pages
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar