Atau bisa juga * Read more: http://syamsudinnamaku.blogspot.com/2011/02/cara-membuat-pesan-pembuka-dan-penutup.html#ixzz1oJwESRxp onmousedown="return false"

Pajajaran dan Prabu Siliwangi Tak Ada

DALAM orasi ilmiahnya yang berjudul "Urang Sunda di Lingkungan Indonesia", saat menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) untuk program studi Budaya Fakultas Sastra dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Senin (31/1), sastrawan Ajip Rosidi mengatakan, orang Sunda suka membohongi diri sendiri dengan berpegang pada mitos-mitos yang tidak rasional dan tidak ada buktinya. Umpamanya, kata Ajip, percaya epada keagungan Kerajaan Pajajaran dan rajanya Prabu Siliwangi, yang secara historis tidak ada buktinya pernah ada. Sebab keduanya hanya terdapat dalam cerita pantun, dongeng, mitologi, dan semacamnya. "Hal itu menyebabkan orang Sunda tidak merasa perlu berusaha melakukan sesuatu. Sebab terlalu percaya akan datangnya pertolongan dari Prabu Siliwangi (padahal tak pernah datang)," ungkapnya. Pada bagian lain orasinya Ajip mengatakan, kesadaran sebagai orang Sunda perlu dibina, tapi dengan kesadaran bahwa Sunda sekarang berada di lingkungan Indonesia. Orang Sunda sekarang bukan keturunan Prabu Siliwangi, yang hendak mendirikan keagungan Kerajaan Pajajaran.

Pertama, karena sampai sekarang Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi tidak ada buktinya secara historis (dalam Saleh Danasasmita/2003 dan Ayatrohaedi/1986). "Kedua, karena negara RI bukan lanjutan dari Kerajaan Pajajaran atau kerajaan-kerajaan lainnya, yang pernah berdiri di Nusantara, seperti Tarumanegara, Kutai, Sriwijaya, Majapahit, Samudera Pasai, Goa, Ternate, dan lain-lain," terangnya.

Ajip juga menyoroti sudah lama kiprah orang Sunda kurang bergaung. Kiprah orang Sunda tidak hanya terasa kurang bergaung di tingkat nasional, di tingkat daerah pun tidak terasa. Padahal secara jumlah, konon orang Sunda menjadi bagian dari 20% total penduduk Indonesia.

"Tidak ada orang Sunda yang menjadi Presiden RI, yang menjadi wakil pun hanya seorang. Itu pun tidak memperlihatkan prestasi yang membanggakan. Mungkin karena merasa menjadi ban serep saja," ungkapnya.

Sedangkan dari segi pendidikan, kata Ajip, tidak kalah menyedihkan. Misalnya saja, didirikannya Paguyuban Pasundan hampir seratus tahun lalu oleh Dajat Hidajat, untuk memajukan orang Sunda. Namun tidak berpengaruh sama sekali. Namanya terdengar kalau mau mengadakan kongres, namun kemudian mati lagi.

"Paguyuban Pasundan pun mempunyai sekolah berpuluh-puluh, bahkan ada universitasnya dengan moto teguh agamanya, tinggi ilmunya, dan luas budayanya. Tapi tidak ada studi tentang budaya, bahasa atau bahkan sastra Sunda. Jadi, budaya yang luas itu budaya yang mana?" tanyanya.

Menurut Ajip, kesadaran orang Sunda perlu dibina dengan kesadaran bahwa mereka berada di lingkungan Indonesia, bukan keturunan Prabu Siliwangi yang hendak mendirikan Kerajaan Pajajaran.

Bukan karena peninggalan kerajaan-kerajaan itu dianggap tidak ada, melainkan warisannya terutama seni budaya, sastra, dan lainnya banyak sekali. Warisan itu kemudian menjadi milik bangsa dan negara Indonesia yang harus dijaga.

Karena itu, Ajip memandang, jika ingin memajukan orang Sunda serta Tatar Sunda, pemerintah daerah tidak hanya Jawa Barat melainkan Banten, ikut bertanggung jawab. Termasuk menyediakan lembaga-lembaga yang memberikan kesempatan kepada anak-anak Sunda, untuk menyerap ilmu dan melatih kemampuannya dalam segala bidang.

"Tidak hanya cukup dengan menyediakan sekolah-sekolah formal, tapi juga harus menyediakan perpustakaan sebanyak-banyaknya. Begitu pula gedung-gedung untuk latihan dan pertunjukan berbagai kesenian dan kegiatan," ujarnya.

Jangan sampai, lanjutnya, berita orang Sunda yang dikenal adalah karena menjadi korban meninggal akibat tertimbun sampah atau bencana longsor yang menimbulkan rasa kasihan. Bukan prestasi seperti anak Palestina, yang berhasil meledakkan bom bunuh diri di kubu musuh dan diberitakan di seluruh dunia dengan penuh kagum.

Biasa saja

Bagi orang kebanyakan, mendapatkan gelar dari sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) merupakan hal yang membanggakan. Namun kegembiraan itu rupanya sama sekali tidak tersirat pada wajah Ajip Rosidi.

Tidak ada luapan kegembiraan berlebihan. Ajip terlihat tenang. Begitulah ekspresinya, apa adanya serta sederhana. "Gembira? Ah tidak. Biasa saja. Buat apa?" ujarnya singkat saat ditanya wartawan di Aula Unpad, Jln. Dipati Ukur, kemarin.

Menurut Ajip, rasa gembira berlebihan saat mendapatkan gelar, bukan miliknya. Melainkan milik sebagian besar masyarakat Indonesia yang sudah silau akan gelar. Bahkan hanya untuk sebuah gelar, berbagai cara negatif dilalui.

"Plagiat, beli ijazah dan lainnya. Untuk apa gelar jika tidak ada prestasinya? Seharusnya mengedepankan prestasi daripada mengejar gelar," ungkapnya.

Bukan tidak berdasar jika Ajip yang menerima gelar Doktor HC tepat di hari ulang tahunnya, 31 Januari tersebut mengatakan demikian. Ajip yang kini berusia 73 tahun, secara latar pendidikan hanya sampai di tingkat SMP yakni di SMPN VIII Jakarta (1953). Sementara di Taman Madya, Taman Siswa Jakarta (1956), tidak tamat.

Perjalanan hidup Ajip memang penuh karya. Melalui tangan dinginnya, sudah tidak terhitung karyanya. Dimulai dari sajak, cerita pendek, roman, drama, wayang, memoar/otobiografi, biografi, ensiklopedia, surat, bunga rampai hingga publikasi penelitian pantun (dengan pengantar untuk setiap judul).

Dengan karyanya tersebut pula, menurut Rektor Unpad, Profesor Ganjar Kurnia disetarakan dengan karya yang dihasilkan lulusan sarjana. Karena itulah, pihaknya bisa memberikan gelar Doktor HC pada Ajip Rosidi. Pemberian Doktor HC di bidang budaya merupakan yang pertama kalinya dilakukan Unpad.

"Jujur saja, untuk memberikan gelar tersebut memakan waktu yang cukup lama sejak Rektor Prof. Himendra. Saya hanya meneruskan saja. Tapi karyanya yang sudah dikenal dan tidak diragukan lagi serta sarat prestasi, maka bisa disetarakan dengan lulusan sarjana," tuturnya. (rinny/"GM")**

0 komentar:

Posting Komentar